Tujuh Alasan Wantenga Tidak Jadi Menikahi Siti Garaso
Cerpen Ragdi F. Daye
Sudah empat
setengah jam Tanpena duduk
bersitungkin menghadap laptop Axioo di depan hidungnya, tapi belum satu
paragraf pun yang berhasil dia tulis. Padahal deadline tulisannya nanti malam. Pada saat kusut begitu, Jangkisuik masuk ke dalam ruang kerjanya dan langsung
mengobok-obok isi lemari.
“Kopimu
tidak ada lagi, Tan?”
“Ada
tuh dalam stoples. Kemarin baru kubeli. Tak tampak oleh matamu?”
“Oh
iya, ini...” Jangkisuik kasak-kusuk membuka plastik kopi bermerek Timbangan Bunga yang diikat dengan karet, lalu
memasukkan bubuk hitam harum itu satu setengah sendok ke dalam mug putih hadiah
susu, menambahkan dua setengah sendok gula pasir, menuangkan air panas dari
termos, mengaduk-aduk, lalu duduk di sisi tempat tidur sambil menyeruput
sedikit. Panas. “Wantenga tidak jadi menikahi Siti Garaso,” ujarnya.
Tanpena bergeming. Apa pentingnya? Dia sedang berjibaku
membuat opini sepanjang tiga-empat
halaman tentang gagasan membangun kota sesuai pesanan kandidat pemimpin daerah
yang memakai jasanya sebagai ghost writer.
Kabar yang disampaikan Jangkisuik sama sekali tidak relevan dengan
pekerjaannya.
“Hei
Tuan Pengarang! Kamu tidak mendengarku? Wantenga dan Siti Garaso tidak jadi menikah!”
“Terus
apa masalahnya? Biasa saja ‘kan orang di
sini tak jadi menikah.”
“Jelas
beda! Ini Wantenga. Kau tahu sendiri ‘kan bagaimana dia sudah
berkoar ke mana-mana akan menikahi
Siti Garaso. Tanggal dan hari juga
sudah dapat. Undangan sudah disebar. Kenapa
bisa tidak jadi?”
“Memangnya
kau tahu alasannya?”
“Ada
tujuh!”
“Tujuh
alasan? Seperti judul artikel di Google saja: Tujuh Alasan Wantenga tidak jadi menikahi Siti Garaso. Hahaha...!” Tanpena mengambil alih gelas kopi di tangan Jangkisuik. Meneguknya. “Coba
ceritakan!”
***
Pertama,
Jangkisuik memulai, bulu ketiak Siti Garaso seperti ijuk di batang enau. Lebat. Hitam. Kasar.
Tanpena tak bisa menahan tawa. Dia membayangkan Siti
Garaso duduk di atas Astrea bulan warna merah sambil memeluk pinggang Wantenga.
Rambut-rambut hitam kasar menjulur dari ketiaknya seperti ijuk di pelepah
batang enau. Alangkah menggelikannya ada perempuan setidak bersih itu. Tapi eh
tapi, bukankah Siti Garaso mengenakan
kerudung? Bukankah Siti Garaso selalu
menutup aurat? Mengapa Wantenga bisa tahu?
Wantenga
telah mengintip Siti Garaso sedang
mandi, ya?
Hahaha...
Mengintip Siti mandi? Hmm, ya tidaklah. Mengintip memang iya. Lebih tepatnya stalking-stalking, kata anak muda
sekarang. Wantenga telah sering mengintip akun Instagram @sitygara50
milik Siti Garaso. Galeri fotonya bagus-bagus dengan latar pemandangan Sumatera Barat yang indah-indah. Ada foto
Siti duduk termenung di Jembatan Kelok 9, foto selfie Siti di Jam Gadang, foto Siti dan kawan-kawan makan
langkitang di taplaw, foto Siti mengantar uwak pergi naik haji di BIM, foto
Siti ala-ala anak daro di Istano Basa Pagaruyuang, foto Siti di depan poster
film yang sedang tayang di XXI, dan yang terakhir, yang membuat Wantenga patah
selera, foto Siti sedang berbaring rebahan di Pulau Sirandah bak bule dari
Eropa, berbusana minim hingga bulu ketiaknya terlihat menjulur seperti
sulur-sulur rumput laut.
Wantenga memang tidak rajin salat.
Tapi dia ingin punya istri shalehah. Memajang foto yang mengumbar aurat adalah
alasan kedua Wantenga tidak jadi menikahi Siti Garaso.
“Alasan kedua ini aku sepakat,” tanggap
Tanpena. “Aku juga begitu. Apabila keluar rumah, istriku nanti juga harus
menutup tubuhnya rapat-rapat, kalau perlu pakai cadar. Tapi pas di rumah
bolehlah seksi-seksi. Hahaa…”
“Semua laki-laki pasti inginnya
seperti itu…”
“Ya iyalah… masak kecantikan istri
jadi konsumsi umum.” Tanpena mengeluarkan kacang Surian dari laci meja. “Alasan
ketiga apa?”
“Ada susu?”
“Sudah minum susu pula kau sekarang hah?”
Jangkisuik membuat kopi segelas
lagi. Kali ini ditambah susu. Sebelum dia sempat menikmati, Tanpena mengambil
jatah duluan. Seteguk.
***
Kata Jangkisuik, Wantenga suka Siti
Garoso sejak gadis itu pulang merantau dari Batam. Sebelumnya Siti tampak
biasa-biasa saja dengan nilai rata-rata enam setengah. Tapi sepulang dari
rantau yang gagal, dia bekerja di plaza dan wajahnya jadi lebih cantik karena
setiap hari di-make up. Wantenga
langsung terpesona. Tepat pula waktu itu dia baru ditinggal nikah oleh Pitkajai
pacarnya yang menjadi artis orgen tunggal. Hati Wantenga langsung hinggap pada
Siti Garoso yang dari menara Masjid Raya Sumbar terlihat mirip benar dengan Shireen
Sungkar.
Wantenga ingin menikahi gadis itu.
Tapi, tapi oh tapi tidak jadi. Inilah alasan ketiga.
Wantenga pernah membawa Siti Garoso
duduk-duduk makan pisang bakar di Jembatan Siti Nurbaya sepulang dari tempat kerjanya.
Riasan wajahnya belum dihapus sehingga tetap terlihat cantik. Mereka memesan
pisang bakar dan teh botol. Lampu-lampu jembatan membuat suasana jadi sangat
romantis. Mereka pun foto berdua. Bercanda mesra. Lalu makan, suap-suapan, dan
…
Puuut…!
“Kentutnya
keras sekali sampai-sampai uni tukang jual pisang bakar melihat dan cekikikan.
Betapa malunya aku. Bau kentutnya juga tak tanggung-tanggung pula.” Sesal
Wantenga pada Jangkisuik. “Aku tidak suka perempuan pengentut. Apalagi di
tempat ramai. Bagaimana kalau dia terkentut sekeras itu lagi di tempat baralek?”
“Kentut ‘kan bisa ditahan, Wan, atau dikeluarkan
pelan-pelan. Masak karena itu saja kau tak jadi menikahinya?”
“Terkentut di tempat ramai berarti tidak beradab.
Jika di rumah sendiri tak apalah.” sungut Wantenga. “Masih ada yang lain. Dia terlalu
kasar pada anak kecil dan suka angkek-angkek
stang, suka membantah. Belum menikah saja dia sudah berani mengeluarkan
kata-kata. Bisa-bisa bersarang sepatuku di mulutnya.”
“Itu artinya dia bersikap apa adanya, Wan, tidak
munafik, tidak berpura-pura.”
“Tidak suka berpura-pura atau tidak punya etika?”
“Kau harus juga melihat dari sudut pandangnya;
Mungkin dia tak sengaja kentut karena masuk angin dan sudah menahan-nahan sejak
dari tempat kerja, coba kaubayangkan betapa tersiksanya menahan-nahan kentut
sampai sakit perut. Terus dia kasar kepada anak kecil katamu; kalau anak kecil
itu memang nakal kurang ajar bikin kesal bagaimana? Tentang angkek-angkek stang, ini zaman
emansipasi, Bro, laki-laki dan perempuan sudah setara, kau tak bisa otoriter
padanya, mengatur ini-itu dan dia harus patuh. Tentu dia melawan.”
“Ah! Pokoknya aku tidak suka. Satu lagi, dia pernah
dilarikan orang halus!”
“Dilarikan orang halus?”
“Waktu SD dia pernah hilang dari rumah dan dua hari
kemudian ditemukan di rumpun bambu dekat kuburan. Katanya, dia juga sering
kesurupan. Artinya, ada yang tidak beres dalam dirinya.”
***
Tanpena melempar kulit kacang. “Alasannya terlalu
dicari-cari. Tak ada orang yang sempurna. Harusnya kekurangan-kekurangan itu
diperbaiki bersama. Itulah gunanya manusia diciptakan berpasang-pasangan agar
saling melengkapi.”
“Tapi mau bagaimana lagi, Wantenga sudah memutuskan
untuk tidak jadi menikahi Siti Garaso. Kita bisa apa?” tukas Jangkisuik. “Atau
kau mau menggantikan Wantenga?”
“Menggantikan untuk menikahi Siti? Owayai, memangnya tak ada lagi perempuan
lain sehingga aku harus menikah dengan Siti Garaso?”
“Hahaha! Masalahnya apa? Dia ‘kan cantik dan belum
jadi istri orang.”
“Bukan itu..”
“Masalah kekurangan dia tadi? E, cimporong! Bukannya
kau bilang tak ada manusia yang sempurna?”
“Aku belum siap untuk menikah. Pekerjaanku belum
jelas. Penghasilanku belum tentu.” Tanpena meringis. “Soal tujuh keburukan Siti
yang tidak bisa diterima Wantenga tadi, kalau bagiku pribadi masih bisa
kompromi. Setahuku Siti itu baik. Eh, bukannya baru enam?”
“Benar kau mau kompromi?”
“Bila aku sudah siap untuk menikah, ya mengapa
tidak.”
“Kau mau menerima apa adanya? Kasihan keluarganya,
undangan sudah disebar…”
Tanpena mengangkat bahu sambil menaikkan alis.
“Mungkin.”
“Alasan ketujuh Wantenga tidak jadi menikahi Siti
Garaso adalah karena gendang sudah pecah.”[]
Padang—Solok, 2018
Ragdi F. Daye berasal dari Solok,
Sumatera Barat. Buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu (2010) dan Rumah yang Menggigil (2016).
No comments:
Post a Comment